My First Love
                Aku termenung menatap bulan di teras rumah. Orang yang kutunggu-tunggu hingga kini belum juga datang. Sudah satu jam ia terlambat. Namun aku tetap setia menunggunya. Saat aku termenung, kenangan dua bulan yang lalu mulai berkelebat di pikiranku.***            “Uh, mana sih perlengkapan MOS ku? Kok pada hilang semua sih!” ujarku pada diri sendiri sambil mencari perlengkapan MOS (Masa Orientasi Siswa) yang harus dibawa pada hari ini. Kalau tidak bawa, siap-siap deh, jadi sasaran empuk para senior yang raja tega. Dan aku nggak mau kena resiko serangan jantung mendadak gara-gara dibentak-bentak senior.            “Nah, ini dia! Kemana aja sih, kamu? Bikin aku khawatir aja,” ujarku pada kantung plastik yang berisi kotak makan bentuk kelinci, botol minuman khas anak TK, botol air mineral yang dihiasi kertas warna-warni, dan tentu saja kantung plastik bertali rafia kepang yang menjadi tas selama 3 hari ke depan. Maklumlah, masa orientasi siswa sekarang menjadi ajang para senior OSIS membuat para murid baru terlihat aneh bin ajaib dengan barang-barang bawaan mereka, dan tentu saja itu semua titah dari yang mulia senior OSIS.            ”Sunny. Cepet berangkat. Udah siang lho. Masa hari pertama sudah telat,” ujar mama dari dapur.            “”Iya, Ma! Aku udah mau berangkat nih,” setelah mengecek penampilan di kaca dan memastikan semua perangkat MOS tidak ada yang tertinggal, I’m ready to go!            Sesampai di SMA Harapan Bunda, terlihat para senior stand bye di depan gerbang untuk mengecek para siswa baru yang melanggar peraturan, tak terkecuali aku. Mereka melihatku dari atas ke bawah seperti tak mau luput dari kesalahan yang kubuat. Fiuh, akhirnya aku lolos dan langsung saja aku beranjak menuju lapangan sekolah untuk acara pembukaan MOS.            Dan aku menangkap sosoknya.            Sosok yang selama 4 tahun ini tidak kutemui. Yang selama 4 tahun ini aku rindukan. Dan selama 4 tahun ini tidak pernah aku bayangkan untuk bertemu denganya lagi. Aku melihatnya ditengah kerumunan siswa baru. Meski sudah 4 tahun tidak bertemu, tapi ingatan tentangnya di masa lalu masih terekam di otakku. Meski banyak perubahan pada fisiknya, tapi aku masih bisa mengenalinya.            Ghifari Hermanto. Seseorang yang sempat menempati tempat istimewa di hatiku. Dialah cinta pertamaku. My first love. Aku kembali teringat dengan janji yang pernah dia buat kepadaku, sebelum dia pindah ke Jepang saat kelas 5 SD.             ”Sun, nanti kalau aku kembali ke Indonesia, kita pacaran ya. Soalnya aku suka sama kamu,” janjinya kepadaku. Janji seorang anak kelas 5 SD yang belum mengenal arti cinta yang sesungguhnya.            Ingin kuhampiri dirinya saat ini. Namun, kuurungkan niatku. Berbagai pertanyaan berkelebat di benakku. Apakah ia masih ingat janjinya kepadaku? Atau apakah ia masih mengenaliku? Karena kulihat ia cukup populer di hari pertamanya sekolah. Sementara aku, belum satu orang pun yang kukenal. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sahabatku saat SD, Sophie, menghampiriku.             “Sunny, lama kita nggak ketemu! Gimana kabarmu?” tanyanya padaku. Kami berpelukan sesaat sambil melepas rindu.            ”Aku baik-baik saja,” jawabku, tapi pandanganku masih melihat ke sosoknya. Melihat pandanganku yang tidak fokus padanya, Sophie mengikuti arah pandanganku.            ”Oh, kamu lagi nglihatin Ghifari, ya? Ke sana yuk!” ajaknya padaku. Aku hanya menurut saja ketika tanganku ditarik oleh Sophie. Meski Sophie sahabatku, ia tidak tahu tentang janji Ghifari padaku. Dadaku berdegup kencang ketika berjalan menuju arahnya. Seketika pertayaan-pertanyaan itu kembali berkelebat di pikiranku.              ”Hai, Ghif! Lama nggak ketemu nih. Gimana kabarmu? Enak nggak tinggal di Jepang?” rentetan pertanyaan langsung diucapkan Sophie tanpa memikirkan apakah Ghifari masih ingat padanya. Ghifari masih bingung dengan kedatangan kami yang mendadak dan terlihat berusaha mengingat-ingat Sophie.            ”Eh, kamu masih inget sama aku kan?” tanya Sophie yang mulai menyadari bahwa Ghifari masih bingung. Seketika Ghifari menjetikkan jarinya tanda ia berhasil mengingat.            ”Aku tahu! Kamu Sophie kan? Aku ingat sekarang. Aku baik-baik aja kok. Kalau di Jepang sih, kayaknya sama aja. Enak di Indonesia malah,” jawabnya. Saat itu, ia langsung melihat ke arahku. Ia tersenyum singkat lalu menyapaku.            ”Hai, Sunny! Ogenki desuka (Bagaimana kabarmu)?” sapanya dalam bahasa Jepang. Dia masih mengenaliku! Untung saja aku bisa sedikit bahasa Jepang. Sejak ia pergi, aku langsung mengambil kursus bahasa Jepang supaya suatu saat nanti saat ia pulang, aku bisa mengobrol denganya memakai bahasa Jepang.            “Haii, Genki desu, (aku baik-baik saja), ” jawabku sambil menatap matanya. Ternyata sikapnya biasa-biasa saja padaku. Sepertinya dia tidak ingat janjnya padaku.            ”Ghifari! Ayo kita baris. Kan obrolan kita tadi belum selesai,” ujar sekelompok cewek yang tampak tidak senang saat aku dan Sophie ngobrol dengannya.             ”Soph, Sun, aku ke sana dulu ya. Ntar kita lanjutin lagi ngobrolnya. Bye!” pamitnya pada kita. Benar dugaanku, dia memang poular. Mana mau dia pacaran denganku yang biasa-biasa saja, sementara sekelompok cewek tadi terlihat sempurna di mataku. Mereka cantik,              ”Para siswa baru, diharap baris sesuai dengan kelas yang sudah ditentukan,” terdengar pengumuman dari pihak OSIS. Ternyata dia tidak sekelas denganku. Sebagai gantinya aku sekelas dengan Sophie.             Kuamati dia lagi. Sosoknya yang tinggi menjulang, rambut jabrik kecoklatan, dan wajah yang tampan sesuai khas pemuda Jepang. Saat ia tersenyum, dua lesung pipit menghiasi pipinya sehingga membuat senyumnya semakin manis.            ”Upacara pembukaan Masa Orientasi Siswa dimulai,” suara pembawa acara menghentikanku mengamati Ghifari. Aku mulai konsentrasi pada upacara.***            Sudah satu bulan berlalu sejak pertemuan kami. Semua masih biasa-biasa saja. Tidak ada tanda-tanda Ghifari mau menepati janjinya. Dalam sekejap ia menjadi siswa populer di sekolah. Ia selalu dikerubuti cewek-cewek, baik senior maupun junior. Sementara aku, walau tidak sepopuler Ghifari, banyak siswa mengenalku.             Aku dan Ghifari hanya saling menyapa saat bertemu. Hingga saat sekolah mengadakan Masa Orientasi Pramuka, mengharuskan kami berkemah semalam di sekolah dan kebetulan aku dan Ghifari menjadi perwakilan kelompok saat acara penjelajahan. Aku selalu berusaha agar jarak kami selalu dekat meski ia tidak tahu keberadaanku.            Di tengah perjalanan, kakak pembina membagi kami berpasangan putar-putri dalam penjelajahan kali ini. Kami diminta mengambil undian dan mencari pasangan dengan nomor yang sama. Kebetulan kami berpasangan. Kulihat Ghifari mulai menghampiriku.            ”Hai, kita berpasangan. Mohon bantuanya,” ucapnya padaku. Aku hanya mengangguk tanda setuju.            ”Penjelajahan akan diadakan dua gelombang dengan rute yang berbeda..” kakak pembina mulai menjelaskan teknisi penjelajahan. Kami ternyata masuk dalam gelombang pertama. Di perjalanan, kami terus mengobrol untuk mengusir rasa tegang karena hari sudah malam.            ”Kau sudah punya pacar?” tanyanya padaku. Seketika aku terkejut dan langsung menjawab pertanyaanya dengan tenang.            ”Belum,” karena aku masih menunggumu, ”Bagaimana dengan cewek-cewek di sekelilingmu? Kulihat kau cukup populer di lingkungan sekolah,” aku balik bertanya padanya.            ”Baka no onna no ko (cewek-cewek bodoh),” jawabnya singkat.            ”Uso (bohong)! Kulihat mereka cantik-cantik. Masa kau tidak tertarik,” ujarku sambil tertawa kecil. Ghifari langsung menghentikan langkahnya dan langsung menatapku.            ”Anata wa boku no mono desu (Kau milikku)!” ujarnya sambil menatap tajam mataku. Aku terkejut mendengarnya. Aku hanya bisa menatapnya penuh tanya, apa maksud perkataanya?            “Aishiteru. Apa kamu masih ingat janjiku saat kita kelas 5?” tanyanya padaku.  Dia masih mengingatnya! Aku hanya mengangguk dan selanjutnya pandanganku kabur karena airmataku mengalir dari mataku. Ghifari yang melihatku menangis langsung bertanya padaku.            ”Kamu kenapa? Sun, jangan nangis. Kamu nggak suka ya kalau aku ngomong gini?” tanyanya padaku sambil menyeka airmataku dengan jarinya dengan sangat lembut dan hat-hati.            ”Aku nggak apa-apa. Terus, selama ini kenapa sikapmu biasa-biasa saja padaku ? kukira kamu sudah lupa sama janjimu sendiri,”             ”Itu semua karena aku mau melindungimu dari cewek-cewek di sekitarku. Aku nggak mau kamu terluka gara-gara aku. Mereka mendekatiku karena fisikku dan aku pindahan dari Jepang. Cuma kamu yang tau aku. Aku mencari waktu yang tepat untuk mengatakan ini semua. Dan sekaranglah saatnya,” jelasnya padaku. Aku langsung memeluknya dan berkata apa yang ingin kukatakan.            ”Aishiteru.”            ”Arigatou, ne. Ai (terima kasih, sayang),” ucapnya sambil balas memelukku. Kamu terus berpelukan hingga aku tersadar sesuatu.            ”Hei, bukannya kita masih penjelajahan. Nanti dikira kita hilang lagi, kalau nggak balik-balik ke pos,” ujarku sambil sedikit bercanda.            ”Oh, iya. Aku lupa. Yuk,” balas Ghifari sambil menggandeng tanganku dan kami tertawa lepas menyadari kebodohan kami.***            ”Tin, tin...” bunyi klakson mobil menyadarkanku dari lamunan. Ternyata Ghifari sudah datang. Aku segera menghampiri mobilnya.            ”Hayo, nglamunin siapa? Aku ya?” candanya sambil mengacak rambutku sayang.            “Idih, enak aja. Kamu tuh ke-PD an. Udah yuk, berangkat. Nanti kemalaman lagi,” ajakku.            ”Yuk,” Ghifari membukakan pintu untukku dan mempersilahkan aku masuk. Sepanjang perjalanan, lagu First Love-nya Utada Hikaru mengalun lembut dari dalam mobil. You are always gonna be the oneImawa mada kanashii love songNow and forever(Utada Hikaru- First Love)
 
0 komentar:
Posting Komentar